Cenderung Suarakan Kepentingan Kelompok Bersenjata, Komnas HAM Dinilai Gagal Fokus
Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dinilai gagal fokus dalam menyelidiki kasus kematian enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI). Sebab, Komnas HAM dinilai cenderung menyuarakan kepentingan kelompok bersenjata, radikal, dan intoleran.
"Saya sependapat bahwa Komnas HAM gagal fokus. Terdapat kesalahan konklusi dan sepertinya cenderung menyuarakan kepentingan kelompok bersenjata yang dalam rangkaian panjang berusaha melawan negara,” ujar pengamat kepolisian Sisno Adiwinoto di Jakarta, Minggu (10/1/2021).
Menurut Sisno, rangkaian panjang kegiatan organisasi kemasyarakatan (ormas) intoleran, radikal, dan mengarah tindakan teroris itu harus mendapat perhatian serius. Kepemilikan dan pemakaian senjata api untuk menyerang petugas Polri harus dibongkar secara intensif.
Dikatakan, kalau pun ormas tersebut berkilah bahwa tidak mengetahui yang diserang adalah petugas polisi, tetapi dari rekaman komunikasi diketahui bahwa mereka tahu kalau dibuntuti. Para anggota Laskar FPI, ujar Sisno, memiliki kesempatan untuk menjauh, tetapi justru kesempatan waktu yang ada dipakai untuk menunggu, memepet mobil polisi, menyenggol, dan bahkan menabraknya.
Oleh karena itu, menurut Sisno, Komnas HAM seharusnya menyelidiki kasus insiden tewasnya laskar FPI berpedoman pada UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan kualifikasi hasilnya hanya bersifat rekomendasi.
Sisno sependapat dengan banyak pakar hukum, purnnawirawan Polri, serta Ikatan Sarjana dan Profesi Perpolisian Indonesia (ISPPI) yang menyoroti hasil rekomendasi Komnas HAM tersebut. Mereka menganggap kesimpulan akhir Komnas HAM sumir dan terdapat kesalahan konklusi.
“Komnas HAM gagal fokus bila hanya memotret insiden terbunuhnya empat laskar pengawal Rizieq Syihab, sementara insiden tersebut hanya satu segmen dari rangkaian peristiwa yang terjadi dalam kasus induknya, yaitu pelanggaran hukum oleh RS. Pimpinan FPI itu juga menolak diproses secara hukum sambil menyerukan pembangkangan dan perlawanan terhadap proses hukum serta berusaha menghindar dengan menggunakan pengawalan laskar bersenjata dan menyerang petugas penegak hukum yang sedang melaksanakan tugas resmi berdasarkan ketentuan undang-undang,” kata Sisno.
Seharusnya, kata dia, situasi ini menjadi pertimbangan dari Komnas HAM. Tanpa pertimbangan berdasarkan rangkaian peristiwa secara lengkap dan menyeluruh, maka patut dipertanyakan objektifitas analisis dan kesimpulan rekomendasi tersebut. Jangan sampai rekomendasi itu sekadar memenuhi pesanan atau menyenangkan “para penggembira”.
“Kita perlu mencegah salah penafsiran yang dapat merugikan proses penegakan hukum yang mungkin bisa timbul akibat kesimpulan yang disampaikan oleh Komnas HAM yang masih terlalu sumir bahwa telah terjadi pelanggaran HAM, apalagi dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat,” katanya.
Sisno mengatakan, sebelum menyampaikan saran dan rekomendasinya, Komnas HAM seharusnya sudah benar-benar mengkaji secara utuh dan komprehensif hasil temuan mereka terlebih dahulu. Dengan demikian, rekomendasi Komnas HAM tersebut tidak memunculkan kesimpulan yang kontradiktif.
“Komnas HAM itu bukan lembaga yudisial dan seharusnya sudut pandang Komnas HAM bersifat normatif. Di sisi lain, apa yang dilakukan anggota polisi bersifat taktis atau diskresi, yang dilindungi oleh undang-undang,” kata Sisno.
“Untuk itu, Sisno berpandangan bahwa Polri belum perlu membuat tim khusus untuk mengkaji masukan Komnas HAM. Polri cukup memberdayakan fungsi internal, karena secara fungsional sudah ada Divisi Proost dan Pengamanan (Propam) serta Divisi Hukum yang akan mengkaji temuan Komnas HAM yang masih sumir tersebut.
Penilaian Komnas HAM, ujar Sisno, sudah masuk terlalu jauh pada wilayah kompetensi absolut kewenangan kepolisian sebagai alat negara ketika anggota Polri sedang menjalankan tugas perintah jabatan, yakni melakukan fungsi penegakan hukum serta pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat.
“Mengingat Komnas bukan lembaga peradilan, jadi kesimpulan mereka seharusnya bersifat 'dugaan adanya pelanggaran HAM' yang harus dibuktikan dalam proses peradilan,” kata Sisno.
Tidak ada komentar